Rabu, 24 Juli 2013

Makanan dan Obat

Written by Unknown


Di tengah kota. Shinji terseok-seok berjalan tepat di tengah jalan besar. Tubuhnya berwarna biru kelabu tidak menunjukkan tanda kehidupan. Satu-satunya pencahayaan di jalan-jalan utama itu hanyalah lampu jalan yang menggunakan energi matahari. Sisanya gelap. Gedung-gedung megah yang seringkali menimbulkan polusi cahaya kini telah hilang. Digantikan oleh gedung gelap dengan banyak cipratan darah disekitarnya. Banyak orang-orang yang terlihat seperti Shinji juga berjalan hilir mudik tak tentu arah. Mengerikan. Beberapa bahkan saling memakan karena tidak ada lagi makanan yang tersisa di lingkungan yang sudah mati itu. Sudah beberapa hari sejak Shinji bertukar pikiran dengan J. Wajah papa Greg masih terbayang-bayang di benaknya. Gambaran rumah yang nyaman membuatnya ingin kembali memutar waktu. Di pojokan ruangan, Shinji meringkuk. Pasrah dengan apa yang akan dilakukan tubuhnya. Shinji menatap monitor besar di ruangan itu. Monitor yang ia ciptakan untuk melihat dunia luar melalui mata di tubuhnya yang sudah mati.  Ia berharap J melakukan switch secepatnya karena ia sudah tidak tahan lagi berada ditubuh ini.


Helena duduk sambil mengutak-atik helm J untuk membuatnya lebih aman. Ia memikirkan pelukan J belum lama ini. Wajahnya sedikit memerah. Beberapa hari ini J terus menanyakan pada Helena apakah ia boleh melakukan switch  lagi. Jawabannya tetap sama. Tidak boleh. Helena harus memuat alatnya seaman mungkin dan setidaknya mengumpulkan semua immune booster yang ada untuk dipakai J dengan cepat setelah melakukan switch.

J dan dr. Greg berbincang di ruangan lain. Membahas apa yang harus J lakukan saat masuk ke dalam pikiran Shinji untuk kedua kalinya. Di sela-sela perbincangannya, J memikirkan hubungannya dengan Helena. Ia terus-terusan mengingatkan dirinya untuk memastikan hubungan mereka setelah semua hal ini berakhir.

Di belakang Helena, Luke duduk sambil menulis di buku catatannya. Helena menyebutkan satu persatu benda yang harus Luke bawa ke lab. Di antaranya banyak suplemen-suplemen untuk menguatkan imun J dan obat-obatan yang Luke tidak begitu mengerti. Setelah selesai mencatat Luke berdiri lalu menghilang.

Luke menyesuaikan matanya sejenak. Selama beberapa menit matanya melakukan adaptasi rhodopsin
membuatnya sedikit kesulitan melihat dalam gelap. Luke berteleportasi ke salah satu supermarket di bawah bukit tempat dr. Greg tinggal di sebuah kota kecil. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Dengan santai ia mengambil sebuah senter dan keranjang lalu mulai memenuhinya dengan bahan makanan dan beberapa keperluan wanita titipan Helena. Ia juga mengambil beberapa keperluan rumah tangga dan banyak sekali lilin. J mendengar geraman-geraman mulai menghampirinya. Ia tersenyum seperti ingin menantang maut. Ia berjalan mendekati makhluk-makhluk kelaparan itu lalu menghilang tepat saat mereka berlari dengan ganas untuk menggapainya. Ia muncul di lab tempat Helena berada sambil meletakkan belanjaannya.

"Mana obat-obatannya?" tanya Helena sambil mendekat.

"Hei aku cuma punya dua tangan. Sabar akan aku ambilkan sebentar lagi. Kau tidak tahu ya seberapa melelahkannya melakukan teleportasi ini." jawab Luke.

"Hmm.. maaf.." kata Helena sedikit tidak peduli sambil memeriksa apa saja yang dibawa Luke. Ia mengambil salah satu coklat batangan lalu kembali ke helm yang ia kerjakan. Luke hanya tersenyum sambil menggeleng. Ia lalu teringat akan isterinya yang suka bersikap seperti Helena. Pandangannya sedikit buram karena air mata. Ia lalu menghilang lagi sebelum Helena menyadarinya.

Kali ini Luke muncul di sebuah apotek. Ia sengaja muncul di kota besar karena biasanya memiliki obat-obatan yang cukup lengkap. Kota ini tempat di mana dulu ia dan isteri tinggal. Di sebuah apartemen mewah di tengah kota. Luke sangat menyayanginya, tetapi sekarang ia telah kehilangan isterinya. Ia ingat betul bagaimana organisasi rahasia tempat ia dulu bekerja menemukannya dan membunuh isterinya saat ia mengatakan tidak ingin kembali. Luke menghela napasnya pelan lalu cepat-cepat melupakannya. Sekarang ia harus melanjutkan hidupnya. Ia mengambil sebuah plastik besar dan mulai mencari obat-obatan yang ia butuhkan. Sulit baginya membaca dalam gelap. Ia melihat catatannya dengan serius lalu sadar bahwa sesuatu sedang memandanginya. Ia menoleh langsung. Tidak ada siapa-siapa. Luke melihat sekeliling. Apotek itu terkunci dan terlihat masih rapih. Sepertinya pemiliknya menutupnya tepat waktu sebelum serangan dimulai. Semua keperluannya telah ada sekarang ia hanya harus kembali ke lab, tetapi rasa penasarannya membuat tubuhnya berjalan mengelilingi apotek itu.

Di sudut ruangan. Tepat di lemari yang tertanam di dinding ada sebuah suara. Luke menarik napas dalam-dalam bersiap untuk berteleportasi kalau-kalau sesuatu yang buruk muncul dari lemari itu. Ia menggeser sedikit pintunya lalu sebuah isakan terdengar samar-samar. Luke membuka lebar-lebar lemari itu lalu melompat mundur. Jantungnya berpacu dan pandangannya awas. Seorang anak duduk di dalam lemari itu. Walaupun sendirian, ia terlihat rapih dan terawat. Sepertinya fasilitas yang ada di apotek ini cukup untuk menunjang hidupnya selama beberapa hari.

"Ibuku mana?" isaknya sambil memandang Luke. Luke mendekatinya dengan iba.

"Ibuku bilang tunggu disini sampai ia kembali dan jangan dekati orang asing." katanya meringkuk di dalam lemari.

"Kapan ibumu bilang itu." tanya Luke berharap ibu anak ini masih hidup.

"Berhari-hari yang lalu." jawab anak itu menangis.

Luke berbalik meniggalkannya karena berpikir ia akan menjadi beban.

"Ck.." decak Luke sambil berbalik lagi lalu menggenggam tangan itu dan kembali ke lab.

Share on:

0 testimoni :

Posting Komentar